Yang satu mengatakan kalau dirinya sudah menyelesaikan masalahnya. Dan yang satu lagi mengatakan belum selesai. Dari kedua cerita itu agak berbeda versi semua menganggap dirinya yang benar. Keduanya adalah sahabatku, mereka saling mengeluh dengan masalah yang dihadapinya. Sebenarnya kalau ada saling keterbukaan diantara mereka, masalah ini tidak akan muncul dan dengan mudah dapat diselesaikan.
Ketika aku sedang ada di kamus, tiba-tiba ada sms yang masuk. Dia mengatakan,"An...maafin gw ya, belum bisa... Tapi insya Allah nyicil aku bisa, maafin gw ya...". Aku baca sms ini rasanya agak janggal. Aku call dia, lama tak diangkat. Aku makin curiga, ada apakah sahabatku ini. Akhirnya tersambung juga, aku kaget dia bicara sambil menangis terisak-isak.
"Ada apa Wi..?? Kenapa kamu ini? Coba utarakan masalah kamu?" tanyaku bertubi-tubi. Tapi dia tetap tak mau megatakannya.
"Kamu di mana?" tanyaku lagi.
"Aku di rumah ibu...", jawabnya.
"Ayo Wi, katakan ada apa ini? Aku kan sudah bilang, jangan kau pikirkan uangku yang kau pinjam. Kalau kamu belum bisa mengembalikan, tidak apa-apa. Kamu bisa bayar kalau kamu emang sudah ada uangnya, aku tidak akan menagih kamu. Sungguh aku tidak akan menagih nya". Dia tetap tidak mau mengatakan masalah yang sesungguhnya.
Esok harinya, sahabatku yang satu menghubungi aku. Dia juga tidak terbuka untuk mengungkapkan inti permasalahannya. Dia hanya menanyakan bagaimana caranya untuk mendapatkan uang, apakah aku bisa membantu meminjamkannya atau mencarikanya. Aku pikir dia adalah orang yang mampu dalam hal keuangan, dan tidak akan mungkin dia mau berkorban mencari pinjaman. Aku tahu siapa sahabatku ini. Tapi kenyataannya, aku tidak tahu siapa sahabat ini. Dia yang dulunya bergelimangan harta, sekarang dia terlilit hutang di mana-mana. Mendengar kondisi sahabatku ini, hatiku sangat pilu. Aku merasa tidak mampu membantu sahabatku ini, sedih juga. Memang belakangan ini dia selalu mengeluh dengan keuangan.
Aku dan mereka memang sudah bersahabat lama. Persahabatan ini membuat aku punya teman untuk berbagi masalah. Sungguh aku menikmati persahabatan ini. Rasanya aku tak ingin persahabatan ini hancur. Aku bertiga selalu saling mengisi dan membantu semampunya.
Salah satu dari mereka datang ke rumahku. Dia bercerita banyak tentang masalahnya dengan linangan air mata. Nafasnya tersengal-sengal menahan tangisnya. Dan tak kuduga masalahnya masih berhubungan dengan sahabatku yang satu. Allahu Akbar, aku tidak bisa memilih, keduanya adalah sahabatku. Aku tidak mau persahabatan ini rusak karena uang. Mungkin aku hanya bisa membantu solusi mereka berdua, tidak materi. Aku tidak mau memilih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar